NAMA : NUR FAKIH IBROHIM
KELAS : 4EA16
NPM : 15210125
Kesadaran perusahaan bahwa nasib dirinya tergantung juga pada kondisi
lingkungan dan masyarakat sekitar memang meningkat akhir-akhir ini.
Karena itu, kita juga bisa lebih sering membaca berita tentang
meningkatnya upaya-upaya yang termasuk sebagai corporate social responsibility
(CSR). Di dalam negeri kita bisa melihat upaya-upaya seperti Telkom
yang menyumbangkan komputer dan membantu koneksi Internet di desa-desa,
Sampoerna dan Djarum yang rajin memberikan beasiswa, atau Unilever yang
melalui produk Lifebouy membantu pembangunan kakus yang higenis di
desa-desa. Siapapun yang melakukan hal-hal tersebut, dan apapun yang
dilakukan mereka, kita tentu layak memberi mereka pujian. Kita juga
berharap lebih banyak lagi perusahaan-perusahaan yang mengikuti jejak
mereka.
Sayangnya, kebanyakan perusahaan masih melihat CSR sebagai bagian
dari biaya atau tindakan reaktif untuk mengantisipasi penolakan
masyarakat dan lingkungan. Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat
status CSR ke tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai
bagian dari upaya brand building dan peningkatan corporate image. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan.
CSR dan strategi perusahaan? Kedengarannya kedua hal tersebut saling
bertentangan. Milton Friedman, sang ekonom pemenang Hadiah Nobel, malah
mencibir upaya-upaya untuk menjadikan perusahaan sebagai alat untuk
tujuan sosial. Tujuan korporasi, menurut beliau, hanyalah menghasilkan
keuntungan ekonomis buat para pemegang saham. Tentu saja pendapat
Friedman tersebut dianggap semakin ketinggalan jaman. Walau demikian,
menciptakan sinergi antara CSR dan strategi perusahaan bukanlah sesuatu
yang lazim juga.
Untung saja beberapa perusahaan besar dan kalangan akademis, termasuk
Michael Porter, Clayton Christensen, dan Rosabeth Moss Kanter
(ketiganya dari Harvard Business School)
telah berhasil membuktikan program-program CSR yang disinergikan dengan
strategi perusahaan akan memberikan dampak yang jauh lebih besar kepada
masyarakat dan perusahaan itu sendiri dibanding upaya-upaya CSR yang
ala kadarnya. Menurut mereka, hanya dengan menjadikan CSR sebagai bagian
dari strategi perusahaan, program-program CSR tersebut bisa langgeng.
Karena strategi perusahaan terkait erat dengan program CSR, perusahaan
tidak akan menghilangkan program CSR tersebut meski dilanda krisis,
kecuali ingin merubah strateginya secara mendasar. Sementara pada
kasus-kasus CSR pada umumnya, begitu perusahaan dilanda krisis, program
CSR akan dipotong terlebih dahulu.
Salah satu contoh kasus yang sangat menarik adalah Nestle yang
membantu para peternak sapi di India. Sebelum Nestle masuk ke India,
para peternak yang sulit memperoleh akses ke saluran air bersih,
tanah-tanah yang subur, dan infrastruktur lainnya yang mendukung harus
puas hidup dengan sapi-sapi kurus dan berumur pendek. Ketika Nestle
masuk ke India, perusahaan ini dengan cepat menyadari untuk mendapatkan
pasokan susu murni yang cukup, mereka harus membantu para peternak
tersebut. Maka, diluncurkanlah program CSR besar-besaran.
Nestle mendirikan pusat-pusat penyimpanan susu dengan mesin pendingin
di beberapa tempat. Selain itu, secara berkala, mobil Nestle yang
membawa para dokter hewan, ahli gizi, ahli pertanian, dan ahli kualitas
datang mengunjungi para peternak. Bantuan finansial dan teknis juga
diberikan untuk membantu para peternak menggali sumur-sumur dan
memperbaiki sistem irigasi. Hasilnya? Ketika Nestle pertama kali
meluncurkan program ini, hanya 180 peternak lokal yang ikut. Sekarang
Nestle harus menangani sekitar 75.000 peternak. Produksi susu per
peternak meningkat 50 kali lipat, dan taraf hidup para peternak tentu
ikut meningkat jauh.
Contoh lainnya adalah grup hotel Marriott International yang
memberikan pelatihan kerja kepada para pengangguran kelas berat. Program
ini dijalankan di belasan kota di US. Marriott menjanjikan para peserta
pelatihan pekerjaan tetap bila mereka berhasil lulus. Program ini
ternyata bukan saja membantu para pengangguran tersebut dan masyarakat
setempat, tetapi juga Marriott. Kenapa? Ternyata para pengangguran yang
diterima kerja tersebut lebih loyal terhadap perusahaan.
Perusahaan-perusahaan teknologi informasi seperti Cisco dan Microsoft
juga tidak ketinggalan. Cisco memberikan pelatihan gratis pada
mereka-mereka yang tidak mampu tetapi berbakat untuk memperoleh
sertifikasi dari Cisco. Microsoft membantu sekolah-sekolah di
negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dalam perancangan
kurikulum pelajaran komputer. Ketika para siswa-siswa tersebut lulus,
ketrampilan mereka bisa dipakai untuk mendukung produk-produk yang
dihasilkan kedua perusahaan tersebut.
Itulah beberapa contoh perusahaan yang berhasil dalam menyelaraskan
strategi dan program CSR mereka. Mereka tidak saja berhasil membantu
lingkungan dan masyarakat setempat, namun juga perusahaan itu sendiri.
Sinergi antara keduanya ternyata sangat mungkin dilakukan. Bila kita
ingin menyelesaikan permasalahan sosial, mungkin kunci utamanya justru
terletak pada keterlibatan sektor korporasi karena saat ini kekuatan
korporasi telah melebihi kekuatan pemerintahan dan lembaga-lembaga
lainnya. Yang menjadi masalah utama adalah sulitnya melakukan perubahan
cara pikir yang selama ini melihat tujuan perusahaan dan CSR saling
bertolak belakang.
KOMENTAR SAYA TENTANG CSR :
menurut saya praktek CSR dalam perusahaan itu sangat baik dan positive karena CSR merupakan strategi perusahaan dalam meningkatkan penghargaan masyarakat kepada perusahaan, membangun ciri khas (brand), dan kapasitas produksi yang berkelanjutan. Bukan hanya hanya sekedar alat public relation maupun marketing, tapi sebagai rangkaian manajemen produksi, sumberdaya hingga pemasaran.
sumber : http://www.inspirasional.com/kategori/organisasi-sukses/etika-bisnis-csr/