Kamis, 21 November 2013

TUGAS 8/ MINGGU 3/ # PENERAPAN GCG PADA PEMERINTAH

 NAMA : NUR FAKIH IBROHIM
 KELAS : 4EA16
 NPM : 15210125


Good governance (tata pemerintahan yang baik) sudah lama menjadi mimpi buruk banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman mereka tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga .
Dewasa ini permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia semakin komplek dan semakin sarat. Oknum-oknum organisasi pemerintah yang seyogyanya menjadi panutan rakyat banyak yang tersandung masalah hukum. Eksistensi pemerintahan yang baik atau yang sering disebut good governance yang selama ini dielukan-elukan faktanya saat ini masih menjadi mimpi dan hanyalah sebatas jargon belaka. Indonesia harus segera terbangun dari tidur panjangnya. Revolusi disetiap bidang harus dilakukan karena setiap produk yang dihasilkan hanya mewadahi kepentingan partai politik, fraksi dan sekelompok orang. Padahal seharusnya penyelenggaraan negara yang baik harus menjadi perhatian serius. Transparansi memang bisa menjadi salah satu solusi tetapi apakah cukup hanya itu untuk mencapai good governance.
Sebagai negara yang menganut bentuk kekuasaan demokrasi. Maka kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar seperti disebutkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 ayat (2). Negara seharusnya memfasilitasi keterlibatan warga dalam proses kebijakan publik. Menjadi salah satu bentuk pengawasan rakyat pada negara dalam rangka mewujudkan good governance. Memang akan  melemahkan posisi pemerintah. Namun, hal itu lebih baik daripada perlakukan otoriter dan represif pemerintah.

B.    Good Governance

Terdapat tiga terminologi yang masih rancu dengan istilah dan konsep good governance, yaitu: good governance (tata pemerintahan yang baik), good government (pemerintahan yang baik), dan clean governance (pemerintahan yang bersih). Untuk lebih dipahami makna sebenarnya dan tujuan yang ingin dicapai atas good governance, maka adapun beberapa pengertian dari good governance, antara lain :
1.    Menurut Bank Dunia (World Bank) Good governance merupakan cara kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (Mardoto, 2009).
2.    Menurut UNDP (United National Development Planning)
Good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu:
a.    Kesejahteraan rakyat (economic governance).
b.    Proses pengambilan keputusan (political governance).
c.    Tata laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance) (Prasetijo, 2009).
3.    Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut meliputi (Hardjasoemantri, 2003):
a.    Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b.    Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c.    Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu
d.    dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
e.    Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
f.    Berorientas pada consensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu consensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur
g.    Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
h.    Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
i.    Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
j.    Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

Dalam proses memaknai peran kunci stakeholders (pemangku kepentingan), mencakup 3 domain good governance, yaitu:
1.    Pemerintah yang berperan menciptakan iklim politik dan hukum yang kondusif.
2.    Sektor swasta yang berperan menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan.
3.    Masyarakat yang berperan mendorong interaksi sosial, konomi, politik dan mengajak seluruh anggota masyarakat berpartisipasi (Efendi, 2005).

Makna dari governance dan good governance pada dasarnya tidak diatur dalam sebuah undang-undang (UU). Tetapi dapat dimaknai bahwa governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau management (pengelolaan) yang artinya kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance itu sendiri memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) yang dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif. Sedangkan good governance adalah tata pemerintahan yang baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain). Clean government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Governance without goverment berarti bahwa pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam makna proses pemerintah (Prasetijo, 2009).
Istilah good governance lahir sejak berakhirnya Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi. Sejak itu pula sering diangkat menjadi wacana atau tema pokok dalam setiap kegiatan pemerintahan. Namun meski sudah sering terdengar ditelinga  legislatif, pengaturan mengenai good governance belum diatur secara khusus dalam bentuk sebuah produk, UU misalnya. Hanya terdapat sebuah regulasi yaitu UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang mengatur penyelenggaraan negara dengan Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik (AUPB).

Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik maka harus memiliki beberapa bidang yang dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai, yang meliputi (Efendi, 2005):
1.    Politik
Politik merupakan bidang yang sangat riskan dengan lahirnya msalah karena seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Konsep politik yang kurang bahkan tidak demokratis yang berdampak pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang saat ini terjadi di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistem politik yang kurang demokratis. Maka perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut berbagai masalah penting seperti:
a.    UUD NRI 1945 yang merupakan sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan maka dalam penyelenggaraannya harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance. Konsep good governance itu dilakukan dalam pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
b.    Perubahan UU Politik dan UU Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat.
c.    Reformasi agraria dan perburuhan.
d.    Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI.
e.    Penegakan supremasi hokum.

2.    Ekonomi
Ekonomi Indonesia memang sempat terlepas dari krisis global yang bahkan bisa menimpa Amerika Serikat. Namun keadaan Indonesia saat ini masih terbilang krisis karena masih banyaknya pihak yang belum sejahtera dengan ekonomi ekonomi rakyat. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Permasalahan krisis ekonomi di Indonesia masih berlanjut sehingga perlu dilahirkan kebijakan untuk segera .

3.    Sosial
Masyarakat yang sejahtera dengan terwujudnya setiap kepentingan masyarakat yang tercover dalam kepentingan umum adalah perwujudan nyata good governance. Masyarakat selain menuntut perealisasikan haknya tetapi juga harus memikirkan kewajibannya dengan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Hal ini sebagai langkah nyata menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun keadaan Indonesia saat ini masih belum mampu memberikan kedudukan masyarakat yang berdaya di hadapan negara. Karena diberbagai bidang yang didasari kepentingan sosial masih banyak timbul masalah sosial. Sesuai dengan UUD NRI Pasal 28 bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membentuk golongan dengan tujuan tertentu selama tidak bertentangan dengan tujuan negara. Namun konflik antar golongan yang masih sering terjadi sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Maka good governance harus ditegakkan dengan keadaan masyarakat dengan konflik antar golongan tersebut.

4.    Hukum
Dalam menjalankan pemerintahan pejabat negara memakai hukum sebagai istrumen mewujudkan tujuan negara. Hukum adalah bagian penting dalam penegakan good governance. Setiap kelemahan sistem hukum akan memberikan influence terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan, karena good governanance tidak akan dapat  berjalan dengan baik dengan hukum yang lemah. Penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan dan kalangan kapitalis lainnya. Kenyataan ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.

C.    Mewujudkan Good Governance di Indonesia

Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang baik maka harus keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan (Hunja, 2009).
Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik.
Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”.
Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Meruju pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, lingkungan, dan pembangunan manusia. Good governance menyentuh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pemerintah (penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha (penggerak ekonomi), dan masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga pihak tersebut saling berperan dan mempengaruhi dalam penyelenggaraan negara yang baik. Sinkronisasi dan harmonisasi antar pihak tersebut menjadi jawaban besar. Namun dengan keadaan Indonesia saat ini masih sulit untuk bisa terjadi (Efendi, 2005).

Dengan berbagai statement negatif yang dilontarkan terhadap pemerintah atas keadaan Indonesia saat ini. Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh terhadap clean and good governance, diantaranya (Efendi, 2005):
1.    Integritas Pelaku Pemerintahan
Peran pemerintah yang sangat berpengaruh, maka integritas dari para pelaku pemerintahan cukup tinggi tidak akan terpengaruh walaupun ada kesempatan untuk melakukan penyimpangan misalnya korupsi.
2.    Kondisi Politik dalam Negeri
Jangan menjadi dianggap lumrah setiap hambatan dan masalah yang dihadirkan oleh politik. Bagi terwujudnya good governance konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Maka tentu harus segera dilakukan perbaikan.
3.    Kondisi Ekonomi Masyarakat
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh.
4.    Kondisi Sosial Masyarakat
Masyarakat yang solid dan berpartisipasi aktif akan sangat menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat juga menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika masyarakat yang belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan.
5.    Sistem Hukum
Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara. Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Good governanance tidak akan berjalan dengan baik di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.

Mencari orang yang jujur dan memilik integritas tinggi sama halnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah salahsatu faktor yang mempersulit dicapainya good governance. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik.
Mencegah (preventif) dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan. Pencegahan dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Jaminan yang diberikan jika memang benar-benar bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat (Hardjasoemantri, 2003).

DAFTAR PUSTAKA :
1.  http://www.banyumaskab.go.id/berita/berita_detail/246

PENDAPAT :
menurut pendapat saya praktek GCG jika di terapkan dalam pemerintahan sangatlah positiv karena  dengan GCG dapat membuat kualitas pemerintahan yang lebih baik karna dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga

TUGAS 7/ MINGGU 3/ #PENERAPAN GCG PADA BUMN

NAMA : NUR FAKIH IBROHIM
KELAS : 4EA16
NPM : 15210125

Penerapan tata kelola yang baik (GCG) pada BUMN harus berpedoman pada Permen BUMN No Per-01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011 dengan tetap memperhatikan ketentuan dan norma yang berlaku, serta anggaran dasar BUMN. Pedoman GCG harus memuat:
  1. Manual Direksi dan Dewan Komisaris
  2. Manual Manajemen Risiko
  3. Sistem Pengendalian Intern
  4. Sistem Pengawasan Intern
  5. Mekanisme Pelaporan atas Dugaan Penyimpangan
  6. Tata Kelola Teknologi Informasi
  7. Pedoman Perilaku Etika
Menurut Pasal 44 (1) Permen BUMN 01/2011, BUMN wajib melakukan pengukuran atas kualitas penerapan GCG yang dilaksanakan berkala setiap 2 (dua) tahun dalam 2 bentuk yaitu 1) penilaian (assessment) atas  pelaksanaan GCG dan 2) evaluasi (review) atas tindak lanjut atas rekomendasi perbaikan dari hasil penilaian sebelumnya. Pada prinsipnya yang melakukan evaluasi adalah BUMN itu sendiri (penilaian mandiri), sedangkan pelaksanaan penilaian dilakukan oleh penilai independen yang kompeten dan harus ditunjuk oleh Dewan Komisaris.
Dasar hukum penilaian mandiri atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan (GCG) pada BUMN adalah:
  1. Peraturan Menteri Negara BUMN No Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada BUMN Pasal 44 (1b), (5), (6), (7), dan (9)
  2. Keputusan Sekretaris Kementerian BUMN No SK-16/S.MBU/2012 tentang Indikator/ Parameter Penilaian dan Evaluasi atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada BUMN
Aktivitas dan tujuan penilaian/evaluasi  penerapan GCG:
  • Pengukuran kualitas penerapan GCG di BUMN dalam rangka pemberian skor atas penerapan GCG dan pemberian kategori kualitas penerapan GCG
  • Identifikasi kekuatan dan kelemahan, serta penyusunan rekomendasi perbaikan penerapan GCG di BUMN dalam rangka mengurangi kesenjangan pada kriteria GCG
  • Pemantauan konsistensi penerapan GCG di BUMN dalam rangka penyempurnaan dan pengembangan kebijakan tata kelola di lingkungan BUMN
DAFTAR PUSTAKA :
1.  http://dianechristina.wordpress.com/2012/11/06/penilaian-mandiri-atas-penerapan-tata-kelola-perusahaan-gcg-pada-bumn-bagian-1/

PENDAPAT :
menurut saya praktek GCG pada BUMN sangatlah baik karena GCG bertujuan bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien dan efektif dalam mengelola risiko dan bertanggungjawab dengan memerhatikan kepentingan stakeholders.
dengan begitu maka BUMN dapat menguntungkan dan mengurangi resiko kerugian yang ditanggung oleh negara. 

TUGAS 6/ MINGGU 3/ #PENERAPAN GCG PADA PERBANKAN


NAMA : NUR FAKIH IBROHIM
NPM     : 15210125
KELAS : 4EA16



Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi termasuk pada saat penyusunan visi, misi, rencana strategis, pelaksanaan kebijakan dan langkah-langkah pengawasan internal. Cakupan penerapan prinsip-prinsip GCG dimaksud paling kurang harus diwujudkan dalam:
  1. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
  2. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank;
  3. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
  4. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
  5. penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
  6. rencana strategis Bank;
  7. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Mengingat tujuan pelaksanaan GCG adalah untuk memberikan nilai perusahaan yang maksimal bagi para Stakeholder maka prinsip-prinsip GCG tersebut harus juga diwujudkan dalam hubungan Bank dengan para Stakeholder.  Secara singkat cakupan penerapan GCG tersebut diuraikan sebagai berikut :
A.  Struktur Organisasi Good Corporate Governance
Struktur Organisasi GCG secara garis besar adalah terdiri dari :
  1. Rapat Umum Pemegang Saham
  2. Dewan Komisaris
  3. Direksi
  4. Komite-Komite dibawah Dewan Komisaris
  5. Satuan Kerja Kepatuhan
  6. Satuan Kerja Audit Intern
  7. Audit Ekstern
  8. Satuan Kerja Manajemen Risiko
  9. Stakeholders
Berdasarkan hal tersebut, secara umum struktur organisasi GCG pada bank dapat digambarkan dalam struktur sebagai berikut:
 
A.1.RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Bank dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Bank yang berlaku. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan forum dimana Direksi dan Komisaris melaporkan dan bertanggungjawab atas kinerja mereka terhadap Pemegang Saham.
A.2. Dewan Komisaris
Jumlah anggota dewan Komisaris paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Paling kurang 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia.
Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen dan paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris adalah Komisaris Independen.

A.3.Direksi

Direksi dipimpin oleh Direktur Utama dan wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali. Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan keuangan, serta hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali.
Setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota Direksi oleh Dewan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham, harus memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.
Mayoritas anggota Direksi paling kurang memiliki pengalaman 5 (lima) tahun di bidang operasional sebagai Pejabat Eksekutif bank (tidak termasuk Bank Perkreditan Rakyat).
Setiap anggota Direksi harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).

B. KOMITE – KOMITE

Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris dibantu oleh sekurang-kurangnya :
a. Komite Audit;
b. Komite Pemantau Risiko;
c. Komite Remunerasi dan Nominasi.
Komite tersebut wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite.

C. FUNGSI KEPATUHAN
Bank wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Dalam rangka memastikan kepatuhan, Bank wajib menunjuk seorang Direktur Kepatuhan dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum.
C.1.Satuan Kerja Kepatuhan
Dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi Direktur Kepatuhan secara efektif, Bank membentuk satuan kerja kepatuhan (compliance unit) yang independen terhadap satuan kerja operasional.
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Direktur Kepatuhan wajib mencegah direksi Bank agar tidak menempuh kebijakan dan/atau menetapkan keputusan yang menyimpang dari peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Direktur Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya secara berkala kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Dewan Komisaris.
C.2 Fungsi Audit Intern
Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern secara efektif, Bank wajib membentuk Satuan Kerja Audit Intern yang independen terhadap satuan kerja operasional. Dalam melaksanakan tugasnya SKAI menyampaikan laporan kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan. Pemimpin SKAI diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama Bank dengan persetujuan Dewan Komisaris.
C.3. Fungsi Audit Ekstern
  1. Bank wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia dalam pelaksanaan audit laporan keuangan Bank.
  2. Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham berdasarkan calon yang diajukan oleh dewan Komisaris sesuai rekomendasi Komite Audit.
  3. Audit dan penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank.

D. PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO

Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta Bank dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
D.1. Satuan Kerja Manajemen Risiko & Komite Manajemen Risiko
Dalam kaitan dengan pengembangan struktur organisasi yang ada, Bank wajib membentuk Komite Manajemen Risiko (Risk Management Committee) dan Satuan Kerja Manajemen Risiko (Risk Management Unit).
D.2.Pengendalian Intern
Pengendalian intern merupakan suatu mekanisme pengawasan yang ditetapkan oleh manajemen Bank secara berkesinambungan (on going basis), guna:
  1. menjaga dan mengamankan harta kekayaan Bank;
  2. menjamin tersedianya laporan yang lebih akurat;
  3. meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku;
  4. mengurangi dampak keuangan/kerugian, penyimpangan termasuk kecurangan/fraud, dan pelanggaran aspek kehati-hatian;
  5. meningkatkan efektivitas organisasi dan meningkatkan efisiensi biaya.

E.  PENYEDIAAN DANA KEPADA PIHAK TERKAIT DAN PENYEDIAAN DANA BESAR
Dalam rangka menghindari kegagalan usaha Bank sebagai akibat konsentrasi  penyediaan dana dan meningkatkan independensi pengurus Bank terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.
Pelaksanaan penyediaan dana kepada pihak terkait dan/atau penyediaan dana besar (large exposures) wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko Bank wajib memiliki pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
E.1. Penyediaan Dana Kepada Pihak Terkait
Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait yang bertentangan dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang berlaku.
Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait tanpa persetujuan Dewan Komisaris Bank.
Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan mengenai:
­   transaksi antara Bank dengan Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
­   pemberian penyediaan dana, komitmen maupun fasilitas lain yang dapat  dipersamakan dengan itu dari setiap perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha dengan Bank kepada debitur yang telah memperoleh penyediaan dana dari Bank.
Laporan tersebut wajib disampaikan sesuai dengan jadwal dan batas waktu penyampaian  Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan.

E.2. Penyediaan Dana Besar
Bank dilarang membuat suatu perikatan atau perjanjian atau menetapkan persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan Penyediaan Dana yang akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran BMPK; dan memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan Pelanggaran BMPK.
Penyediaan Dana ini mencakup bentuk perikatan atau perjanjian atau persyaratan yang ditetapkan untuk yang tercatat di neraca maupun rekening administratif.

F.    RENCANA STRATEGIS BANK

  1. Bank wajib menyusun rencana strategis dalam bentuk rencana korporasi (corporate plan) / rencana jangka panjang dan rencana bisnis (business plan) / rencana jangka pendek.
  2. Penyampaian rencana korporasi (corporate plan) dan perubahannya kepada Bank Indonesia berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum.
  3. Penyusunan dan penyampaian rencana bisnis (business plan) berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum.
  4. Rencana korporasi /rencana jangka panjang Bank  merupakan cerminan dari visi Bank .

G.   ASPEK TRANSPARANSI KONDISI BANK

Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan nonkeuangan, Bank wajib menyusun dan menyajikan laporan dengan tata cara, jenis dan cakupan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
Selain hal tersebut, bank wajib melaksanakan transparansi informasi mengenai produk dan penggunaan data nasabah Bank dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Namun demikian, dalam aktivitas transparansi dan pengungkapan (disclosure) kondisi Bank harus tetap memperhatikan dan mematuhi ketentuan tentang rahasia bank.
G.1. Transparansi Kondisi Keuangan dan Non-keuangan
Dalam rangka peningkatan transparansi kondisi keuangan, Bank wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
G.2. Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah
Bank wajib menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunaan Data Pribadi Nasabah. Informasi mengenai karakteristik Produk Bank tersebut sekurang-kurangnya meliputi:
­   Nama Produk Bank;
­   Jenis Produk Bank;
­   Manfaat dan risiko yang melekat pada Produk Bank;
­   Persyaratan dan tata cara penggunaan Produk Bank;
­   Biaya-biaya yang melekat pada Produk Bank;
­   Perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan;
­   Jangka waktu berlakunya Produk Bank; dan
­   Penerbit (issuer/originator) Produk Bank;
Penggunaan Data Pribadi Nasabah
Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari Nasabah dalam hal Bank akan memberikan dan atau menyebarluaskan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak Lain untuk tujuan komersial, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Dalam permintaan persetujuan tersebut Bank wajib terlebih dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi dari pemberian dan atau penyebarluasan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak Lain.

H.  HUBUNGAN DENGAN STAKEHOLDERS
Bank memiliki sensitivitas untuk melakukan hubungan secara positif dengan financial maupun non-financial stakeholders, termasuk dengan pegawai Perseroan, masyarakat setempat, kepentingan lingkungan hidup, regulator (Bank Indonesia, Bapepam, BEJ dan BES) dan pemerintah.
Pengaruh dari external stakeholders tidak boleh mengacaukan kegiatan operasi yang sudah direncanakan oleh Perseroan, sehingga diperlukan adanya penelitian yang cermat atas pengaruh positif dan negatif dari external stakeholders tersebut.

daftar pustaka :
1. http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=713:penerapan-good-corporate-governance-di-bank&catid=68:good-corporate-governance&Itemid=101

PENDAPAT :
menurut pendapat saya praktek kegiatan GCG di perbankan itu sangat berguna yaitu untuk meningkatkan kinerja Bank, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan serta mengurangi resiko yang dihadapi bank.
dengan peningkatan kualitas pelaksanaan good corporate governance merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kondisi internal perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)

TUGAS 5 /MINGGU 3/ #PRINSIP-PRINSIP GCG



NAMA            : NUR FAKIH IBROHIM
KELAS           : 4EA16
NPM               : 15210125

PENGERTIAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Secara umum istilah good corporate governance merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari "nilai-nilai" yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft definition). Tim GCG BPKP mendefinisikan GCG dari segi soft definition yang mudah dicerna, sekalipun orang awam, yaitu:
"KOMITMEN, ATURAN MAIN, SERTA PRAKTIK PENYELENGGARAAN BISNIS SECARA SEHAT DAN BERETIKA"

PERAN BPKP DALAM PENGEMBANGAN GCG
Sesuai surat Nomor: S-359/MK.05/2001 tanggal 21 Juni 2001 tentang Pengkajian Sistem Manajemen BUMN dengan prinsip-prinsip good corporate governance, Menteri Keuangan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan kajian dan pengembangan sistem manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengacu pada prinsip Good Corporate Governance (GCG). Selanjutnya, BPKP telah membentuk Tim Good Corporate Governance dengan Surat Keputusan Kepala BPKP Nomor KEP-06.02.00-316/K/2000 yang diperbaharui dengan KEP-06.02.00-268/K/2001.    
 Tim GCG tersebut mempunyai tugas:
"MERUMUSKAN PRINSIP-PRINSIP PEDOMAN EVALUASI, IMPLEMENTASI DAN SOSIALISASI PENERAPAN GCG, SERTA MEMBERIKAN MASUKAN KEPADA PEMERINTAH DALAM MENGEMBANGKAN SISTEM PELAPORAN KINERJA DALAM RANGKA PENERAPAN GCG PADA BUMN/BUMD DAN BADAN USAHA LAINNYA (BUL)"
Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu korporat atau para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.  Penjabarannya sebagai berikut :
  1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi.  Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.
  1. Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen perusahaan.  Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan.
  1. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya.  Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
  1. Indepandency (kemandirian)
Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, prinsip ini menuntut bertindak secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan. Tersirat dengan prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.
  1. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.bpkp.go.id/dan/konten/299/Good-Corporate.bpkp
2. http://yanuarto-berbagi.blogspot.com/2012/02/5-lima-prinsip-gcg.html